Sabtu, 18 Oktober 2008

HANYA UNTUK RITA (Abid URINDO)

KB NASIONAL DAN PERAN PRIA DALAM BER-KB (BIDAN DENGAN KELUARGA)

Sejalan dengan era globalisasi, reformasi dan demokrasi yang menjadi paradigma universal saat ini, dalam melakanakan visi dan misi program, pengelolaan Keluarga Berencana Nasional (KBN) pada masa-masa mendatang akan semakin memperlihatkan isu-isu yang berkembang di masyarakat, baik di tingkat nasional maupun internasional. Dengan demikian, isu-isu penting seperti hak-hak reproduksi remaja, pemberdayaan perempuan, kesertaraan dan keadilan gender termasuk di dalamnya partisipasi pria, perlindungan terhadap masyarakat miskin dan hak asasi manusia akan senantiasa menjadi acuan pelaksanaan program KB.

Demikian sekelumit kerangka acuan yang bakal dijalankan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nsional (BKKBN) ke depan sebagaimana di jelaskan Kepala BKKBN, DR. Sri Seoamrjati Arjoso, SKM, dalam Rapat Kerja Program Keluarga Berenana Nasional (Rakernas KB) yang dilangsukan awal Februari 2004.

Menyimak ke belakang perjalanan KB Nasional memang tak menghapus kenyataan bahwa program ini mampun menurunkan angka pertumbuhan penduduk di Indonesia. Keberhasilan pengendalian pertumbuhan penduduk ditunjukkan dengan menurunnya tingkat kelahiran (TFR) yang cukup bermakna. Pada tahun 1971, aat program KB di awali, angka TFR diperkirakan mencapai 5,6 anak per wanita usia subur. “Saat ini, angkanya telah turun hingga 50 persen yakni mencapai 2,6 anak per wanita usia subur,” kata Soemarjati.

Demikian halnya dengan angka prevalensi pada kurun waktu yang sama bertambah dari 5 persen menjadi 26 persen pada 1980, kemudian 48 persen pada 1987, tahun 1997 mencapai 57 persen hingga saat ini diperkirakan sebesar 60 persen (Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia –SDKI- 2002-2003).

Lebih jauh menguak keberadaan program KB Nasional, etrdapat beberapa hal yang harus benar-benar diperhatikan seperti kekuatan, kendala, tantangan serta peluang. Kekuatan yang ada, dikatakan Soemarjati telah menunjukkan keadaan yang lebih menggembirakan seperti telah makin diterimanya p[rogram KB di masyarakat. Hal ini juga didukung srana dan parasaran seperti tenaga penyuluh lapangan dan system pengelolaan KB yang baik hingga ke tingkat akar rumput.

Demikian halnya dengan ddukungan dan komitmen dunia internasional terhadap program KB di Indonesia, merupakan sebuah kekuatan yang dapat diperhitungkan. Sesuai dengan pertemuan di Kairo tahun 1994 (ICPD 1994), program KB dan kesehatan reproduksi pada umumnya merupakan bagian dari kesepakatan global untuk mengatasi berbagai masalah yang dianggap menghambat upaya meningkatkan kesejahteraan umat manusia. “Dukungan tersebuat tidak hanya sekedar gar Indonesia melaksanakan program KB sebagaimana negara lain, tetapi lebih dari itu, program KB Nasional diharapkan tetap menjadi salah satu contoh dari pelaksanaan KB di negara lainnya yangs eang berkembang,” tegas Soemarjati.

Sementara itu, berbagai kendala juga siap menghalangi program KB jika tak segera dipikirkan jalan keluarnya. Sebut saja masalah penyebaran penduduk yang tidak merata (sekitar 60 persen penduduk Indonesia tinggal di Pulau Jawa dan Bali), kesenjangan pembangunan antara kawasan Timur dan dan Barat, hingga ancaman terjadinya ledakan penduduk.

Selain itu, terdapat jga kendala yang berputarbpada masalah sumber daya manusia dimana masih terdapat kenyataan bahwa tingkat pendidikan masyarakat masih relatif rendah jika dihiutng secara nasional. Hal ini adalah juga dampak dari masih tingginya angka kemiskinan di Indonesia.

Demikian halnya dengan pemberdayaan perempuan sebagai tiang utama pembangunan manusia, masih sangat rendah. Yang sangat memprihatinkan adalah masih tingginya angka kematian ibu, bayi serta tingginya angka pernikahan dini di kalangan perempuan Indonesia.

Segala kendala di atas tentunya tidak harus dihadapi sebagai sebuah momok. Justru sebaliknya, semaunya itu melahirkan suatu tantangan. Untuk program ke depan, masalah desentralisasi masih menjadi isu tantangan yang paling hebat. Pasalnya, keanekaragaman daerah di Indonesia masih terus dimanajemen agar tidak terlalu jauh keluar dari jalur yang telah ditetapkan.

Dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1999 dan Undang-Undang No 10 tahun 1992 tentang perkambangan kependudukan dan pembangunan keluarga sejahtera, telah diciptakan landasan yang legal dan kaut tentang upaya-upaya keberlangsungan peningkatan kualitas penduduk dan pembangunan keluarga sejahtera.

Hal itu, tentunya menjadi sebuah peluang yang utama bagim pelakanaan program KB dan kependudukan lainnya. “Landasan yang legal dan kuat ini nantinya dapat dijadikan sebagai acuan dan peluang untuk diperjuangkan dalam perumusan GBHN dan Propenas 2005-2009,” ujar Sri Soemarjati.

Sementara itu, perubahan sikap dan perilaku masyarakat tentang struktur dan fungsi keluarga besar ke keluarga kecil merupakan peralihan yang sangat penting dan mendasar. Bagaimana tidak, bila nantinya perubahan tersebut akan melahirkan peluang yang sangat penting dalam upaya peningkatan kualitas penduduk dan keluarga melalui pendidikan, pengetahuan, status kesehatan serta pendapatan keluarga.

Yang paling penting adalah sikap dan perilaku keluarga kecil ini nantinya dapat juga dimanfaatkan dalam pemberdayaan keluarga khususnya meningkatkan peran dan kedudukan perempuan agar menjadi mitra yang sejajar dengan kaum pria dalam segala aspek kehidupan baik politik, ekonomi, sosial serta budaya.

Peran Serta Pria

Dari sekian banyak sasaran yang akan dicapai oleh program KB dalam jangka panjang demi tercapainya Keluarga Berkualitas 2015, adalah upaya mencapai peningkatan kesertaan pria dalam ber-KB.

Sebelumnya, berdasarkan SDKI 2002-2003, peserta KB Pria di Indonesia hanya berada pada kisaran 1,3 % dari target propenas 2000-2004 yang mencapai angka 8 %. Untuk itu, tahun 2005, peran serta pria ditargetkan kembali menjadi 2,5 %.

Dikatakan Soemarjati, apa yang telah dicapai program KB pria dengan angka 1,3 tersebut tidak bisa dianggap kecil. Pasalnya, mengubah paradigma yang berkaitan dengan budaya patriarki dimana peran pria demikian besar ketimbang wanita, bukan pekerjaan mudah. Selama ini, wanita sudah demikian wajar untuk berperan serta aktif menjadi pesreta KB, tentunya dengan niat melayani suami dengan sebaik-baiknya.

Untuk itu, sasaran program KB pria, dikatakan Soemarjati, bisa bergantung pada keberadaan data mengenai pasangan usia subur yang ingin ber-KB tetapi belum dapat terpenuhi (unmetneed) yang angka statistiknya diperkirakan mencapai 8,6 % berdasarkan

Pemerintah dalam hal ini BKKBN memang tak main-main dalam meningkatkan peran serta pria dalam ber-KB. Selain masuk dalam daftar sasaran kangka pendek, dalam visi dan misi pencapaian Keluarga Berkualitas 2015 dikmukakan juga tentang peningkatan upaya mewujudkan kesetaran dan keadilan jender dalam pelaksanaan program KB nasional. Hal ini berarti, dalam waktu-waktu ke depan, pasangan suami istri diharapkan memiliki wawasan dan tanggung jawab bersama dalam pemenuhan hak-hak reproduksi, pelayanan KB serta kesehatan reproduksi dan kesejahteraan keluarga.

Tidak hanya itu, dalam rancangan sasaran program KB pada 2010 dan
2015 telah ditetapkan sekitar 4,5% hingga 7,5 %. “Sasaran yang harus dicapai tersebut, diharapkan bisa terlaksana, mengingat peran serta daerah kini mulai dikembangkan lewat otonomi daerah termasuk dalam soal KB dan kependudukan,” tandas Soemarjati. (dian)

````````````````````````````````````````````````````````````````````````````````````````````````````````````

PANDANGAN AGAMA TERHADAP BIDANG MEDIS KEBIDANAN (BIDAN DENGAN MASYARAKAT)

Ditulis pada oleh Erlina

PANDANGAN AGAMA

TERHADAP BIDANG MEDIS KEBIDANAN

A. PENDAHULUAN

Allah mengatakan dalam al-Qur’an surah al-Ahqaaf : 10

“Katakanlah: Terangkanlah kepadaku bagaimana pendapatmu jika al-Qur’an itu dating dari sisi Allah, padahal kamu mengingkarinya dan seorang saksi dari Bani Israil mengakui ( kebenaran ) yang serupa dengan ( yang dsebut ) dlaam al-Qur’an lalu dia beriman, sedang kamu menyombongkan diri. Sesungguhnya Allah tiada memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim”.

Allah juga mengatakan dalam surah al-An’am : 125

“Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama ) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah sudah mendaki ke langit. Begitulah Allah melimpahkan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman”.

Dialog asli dengan para ilmuwan ini direkam pada videotape yang diberi judul “ Inilah Kebenaran “. Di dalam video itu jauh lebih efektif dan lebih jelas untuk pemirsa. Untuk membuat pertukaran ide pada bermacam-macam orang, kami memutuskan untuk memproduksi buku ini yang berisi kesaksian para ilmuwan yang berpartisipasi dalam diskusi yang sebenar-benarnya sebagaimana yang dimunculkan dalam videotape, tanpa ada perubahan sama sekali. Videotape itu juga berisi ulasan secara luas dari Syeikh Abdul Majid az-Zindani. Ulasan ini juga direkam di sini videotape ini juga tertulis di buku ini sesuai dengan kitab suci al-Qur’an terjemahan bahasa Inggris oleh Abdullah Yusuf Ali ( beberapa pemakaian linguistic lama telah diedit demi kejelasan ) yang telah direvisi dan diedit Presiden Islamic Research, IFTA, CALL, dan Guidance, Saudi Arabia.

B. Islam dan Ilmu Pengetahuan

Pemikiran Barat sekarang ini berada di tengah-tengah peperangan antara agama dan ilmu pengetahuan. Hampir tidak mungkin pemikir Barat sekarang ini menerima kenyataan bahwa kemungkinan ada pertemuan secara mendasar antara agama dan ilmu pengetahuan. Injil, yang menjadi kepercayaan orang Nasrani, menyatakan pohon di mana Nabi Adam AS dilarang memakan buahnya, dia memperoleh pengetahuan tertentu yang mana tidak dia peroleh sebelumnya. Dengan alas an inilah ornag Eropa membantah bahwa selama dua abad mereka tidak menerima pengetahuan ilmiah yang dating dari orang Islam.

Gereja menyatakan bahwa pencarian seperti pengetahuan ilmiah adalah penyebab dosa yang asli. Uskup menggambarkan bukti mereka dari Perjanjian Lama yang menyebutkan bahwa ketika Adam memakan pohon itu, ia mendapat beberapa pengetahuan, Allah tidak menyukai dan menolak memberinya kemurahan hati. Oleh karena itu, pengetahuan ilmiah menolak sepenuhnya peraturan gereja yang dianggap sebagai hal yang tabu. Akhirnya, ketika pemikir bebas dan ilmuwan Barat sanggup mengatasi kekuatan gereja, mereka membalas dendam yang berlawanan untuk mengatasi kekuatan gereja dan mengurangi pengaruhnya kepada hal yang sempit dan membatasi pada sudut-sudut tertentu.

Oleh karena itu, jika Anda membicarakan persoalan agama dan ilmu pengetahuan dengan pemikir Barat, dia benar-benar akan keheranan. Mereka tidak tahu Islam. Mereka tidak mengetahui bahwa Islam menjunjung tinggi status ilmu pengetahuan dan orang yang berilmu, menghormati mereka sebagai saksi setelah malaikat yang berhubungan dengan fakta baru tiada Tuhan selain Allah, sebagaimana yang telah Allah firmankan kepada kita:

“Tuhan menyatakan, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Dia, dan malaikat-malaikat dan orang-orang berilmu yang tegak dengan keadilan”.

Dan Allah Yang Maha Agung dan Maha Pemurah berfirman kepada kita:

“Oleh sebab itu, ketahuilah bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah”.

Telah diketahui dari Al-Quran bahwa Nabi Adam AS diistimewakan melibihi malaikat dengan kebaikan pengetahuan yang diberikan Allah kepadanya. Kisah dari Al-Quran menyangkal Injil yang menyebutkan orang Islam dianggap menyimpang. Menurut Al-Quran, kenyataan bahwa nabi Adam diberi pengetahuan adalah sebuah tanda kehormatan dan bukan karena pengusirannya dari surga. Oleh karena itu, jika seseorang membicarakan Islam dan ilmu pengetahuan dengan cara pemikir barat, mereka cendrung mengharapkan argument yang sama dengan apa yang ada dalam budaya dan agama mereka. Itulah mengapa mereka memberi reaksi dengan keterkejutan ketika mereka ditunjukan dengan fakta yag jelas sekali dari Al-Quran dan Sunnah.

Di antara pemikir Barat yang menampakan keterkejutannya itu adalah Prof. Dr. Joe Leugh Simpson, ketua jurusan Ilmu Kebidanan dan Ginekologi dan Pakar Molecular dan Genetika Manusia, Baylor ollege Medicine, Houston. Ketika kami pertama kali bertemu dengannya, Profesor Simpson menuntut pembuktian Al-Quran dan Sunnah. Akan tetapi, kami sanggup menghilangkan kecurigaannya. Kami menunjukan kepadanya sebuah naskah garis besar perkembangan embrio. Kami membuktikan kepadanya bahwa Al-Quran menjelaskan kepada kita bahwa turunan atau hereditas dan sifat keturunan atau kromosom yang tersusun hanya bisa terjadi setelah perpaduan yang berhasil antara sperma dan ovum. Sebagaimana yang kita ketahui, kromosom-kromosom ini berisi semua sifat-sifat baru manusia yang akan menjadi mata, kulit, rambut dan lain-lain.

Oleh karena itu, beberapa sifat manusia yang tersusun itu ditentikan oleh kromosomnya. Kromosom-kromosom ini mulai terbentuk sebagai permulaan pada tingkatan nutfah dari perkembangan embrio. Dengan kata lain, cirri khas manusia baru terbentuk sejak dari tingkatan nutfah yang paling awal. Allah Yang Maha Agung dan Yang Maha Mulia berfirman dalam Al-Quran:

“Celakalah kiranya manusia itu! Alangkah ingkarnya (kepada Tuhan). Dari apakah dai diciftakan? Dari setetes mani. (Tuhan) menciftakannya dan menentukan ukuran yang sepadan dengannya.

Pendapat yang telah berulang-ulang dikemukakan pembicara yang lain pagi ini, bahwa kedua hadits ini telah menghasi;lkan dasar pengetahuan ilmiah yang mana rekaman mereka sekarang ini didapatkan.

Prof. Simpson megatakan bahwa agama dapat menjadi petunjuk yang baik untuk pencarian ilmu pengetahuan. Ilmuan barat telah menolak ini. Seorang ilmuan Amerika mengatakan bahwa agama Islam dapat mencapai sukses dalam hal ini. Dengan analogi, jika anda pergi ke suatu pabrik dan anda berpedoman pada mengoperasikan pabrik itu, kemudian anda akan paham dengan mudah bermacam-macam pengoperasian yang berlangsung di pabrik itu. Jika anda tidak memiliki pedoman ini, pasti tidak memiliki kesempatan untuk memahami secara baik variasi proses tersebut. Prof. Simpson berkata: “Saya pikir tidak ada pertentangan antara ilmu genetika dan agama, tetapi pada kenyataannya agama dapat menjadi petunjuk ilmu pengetahuan dengan tambahan wahyu ke beberapa pendekatan ilmiah yang tradisional. Ada kenyataan di dalam Al-Quran yang ditunjukkan oleh ilmu pengetahuan menjadi valid, yang mana Al-Quran mendukung ilmu pengetahuan yang berasal dari Allah.”

Ini kebenaran. Orang-orang Islam tentunya dapat memimpin dalam cara pencarian ilmu pengetahuan dan bagaimana menggunakan pengetahuan itu dalam status yang sesuai. Terelebih lagi orang Islam mengetahui bagaimana menggunakan pengetahuan itu sebagai bukti keberadaan Allah, Allah Yang Maha Kuasa dan Maha Mulia menegaskan kerasulan Nabi Muhammad SAW. Allah berfirman di dalam Al-Quran:

“Akan Kami perlihatkan secepatnya kepada mereka kelak, bukti-bukti kebenaran. Kami di segenap penjuru dunia ini dan pada diri mereka sendiri, sampai terang kepada mereka, bahwa al-Qur’an ini suatu kebenaran. Belumkah cukup bahwa Tuhan engkau itu menyaksikan segala sesuatu.” ( QS. Fushsilat:53 ).

Setelah menyadari melalui beberapa contoh keajaiban al-Qur’an secara ilmiah yang telah diketahui berhubungan dengan komentar yang objektif dari para ilmuwan, mari kita tanyakan pada diri kita sendiri pertanyaan-pertanyaan berikut :

a. Dapatkah hal ini menjadi sebuah kejadian yang kebetulan bahwa akhir-akhir ini penemuan informasi secara ilmiah dari lapangan yang berbeda yang tersebutkan di dalam Al-Qur’an yang telah turun pada 14 abad yang lalu?

b. Dapatkah Al-Qur’an ini ditulis atau dikarang Nabi Muhammad SAW atau manusia yang lain?

Hanya jawaban yang mungkin untuk pertanyaan itu bahwa Al-Qur’an secara harfiah adalah kata-kata atau firman Allah yang diturunkan kepadanya. Al-Qur’an adalah perkataan yang harfiah dari Allah yang Dia turunkan kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril. Al-Qur’an ini dihapal oleh Nabi Muhammad SAW yang kemudian didiktekan kepada sahabat-sahabat nya. Para sahabat inilah yang selanjutnya secara bergiliran menghapalkannya, menulis ulang, dan memeriksa/meninjau lagi dengan Nabi Muhammad SAW.

Terlebih dahulu, Nabi Muhammad SAW memeriksa kembali al-Qur’an dengan malaikat Jibril sekali setiap bulan Ramadhan dan dua kali di akhir hidupnya pada kalender Hijriah yang sama. Sejak al-Qur’an diturunkan sampai hari ini, selalu ada banyak orang Islam yang menghapalkan semua ayat al-Qur’an surat demi surat. Sebagian dari mereka ada yang sanggup menghapal al-Qur’an pada waktu berumur 10 tahun. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika tidak ada satu surat pun di dalam al-Qur’an yang berubah selama berabad-abad sampai sekarang.

Al-Qur’an telah diturunkan 14 abad yang lalu menyebutkan fakta yang baru ditemukan akhir-akhir ini yang telah dibuktikan oleh para ilmuwan. Hal ini membuktikan tidak ada keraguan bahwa al-Qur’an adalah firman yang harfiah dari Allah, yang diturunkan-Nya kepada Nabi Muhammad SAW. Selain itu juga menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah benar-benar nabi dan utusan yang diturunkan Allah. Hal ini adalah di luar alasan bahwa setiap manusia 14 abad yang lalu telah mengetahui beberapa fakta ini yang ditemukan atau dibuktikan akhir-akhir ini dengan peralatan canggih dan metode yang rumit.

C. Fase Penciptaan Manusia

Allah mengutus Nabi Muhammad SAW sebagai rasul untuk seluruh dunia sebagaimana yang difirmankan Allah di dalam Al-Qur’an.

“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuknya rahmat bagi semesta alam”. ( QS. Al-Anbiyaa’:107 )

Dan Nabi Muhammad SAW juga utusan Allah untuk orang Badui yang tinggal di gurun sebagaimana dia utusan

Rumah Sakit Kita (BIDAN DENGAN PASIEN)

Senin, 25 Pebruari 2008

Oleh Aulia Sofyan Nasib Muhammad Afzal, bayi berusia lima bulan yang menderita Hydrocepllus (pembekakan kepala)

semakin tidak jelas. Kita sangat terenyuh melihat kondisi bayi tersebut. Apalagi, pihak medis sudah menyerah dengan

keadaan bayi itu. Pertanyaan yang patut kita hidangkan ke hadapan pihak rumah sakit adalah mengapa sekian lama

sang bayi menderita, terbiarkan tanpa penanganan yang sepatutnya. Dalam pada itu, marilah kita lihat kinerja RS

terkemuka di kota kita terhadap pelayanan pasien-pasiennya.

Salah satu tujuan pembangunan kesehatan dikatakan menyediakan sarana pelayanan kesehatan yang bermutu, merata,

dan terjangkau. Oleh sebab itu, ketersediaan pelayanan kesehatan, khususnya rumah sakit perlu mendapat perhatian

pemerintah untuk menyediakan pelayanan kesehatan yang terjangkau dan bermutu sampai ke daerah-daerah terpencil

sekali pun.

Kenyataannya, Aceh saat ini belum memiliki sistem penataan pola pelayanan kesehatan yang baik. Hal ini dapat dilihat

dari dua hal, yaitu belum meratanya pelayanan kesehatan berkualitas sampai ke daerah terpencil, dan masih banyak

masyarakat yang belum mampu menjangkau pelayanan kesehatan.

Selama ini kita dihadapkan dengan rendahnya mutu pelayanan kesehatan. Sebut saja para perawat yang masih sulit

tersenyum kepada pasien Askeskin, para dokter yang masih sulit berkomunikasi dengan pasiennya dengan paradigma

mereka “pasien kan yang butuh kami”. Sarana dan prasarana instansi pelayanan kesehatan masih jauh di

bawah standar. Pantas saja orang-orang kaya di negeri kita berbondong-bondong lari menikmati pelayanan kesehatan

ke negeri lain, sebut saja Singapura dan Malaysia. Berapa kerugian ekonomi yang didapatkan negara ini hanya karena

sebuah senyum, keramah-tamahan, perhatian yang sulit didapatkan di negeri sendiri?

Di negeri kita, para dokter dan perawat berteriak “malu-malu” kepada pemerintah, karena jumlah pasien

Askeskin yang melonjak, tetapi pemerintah belum dapat membayar klaim dari pihak RS. Tentang alokasi dana

kesehatan masih menjadi buah bibir di daerah kita. Kebijakan pemerintah untuk menggratiskan pasien Askeskin adalah

kebijakan yang mulia, namun belum menyelesaikan masalah. Masalah-masalah baru mulai muncul, sebut saja jumlah

pasien yang membludak, yang seharusnya dapat segera diantsisipasi pemerintah. Tidak seperti saat ini, pihak RS

berteriak meminta klaim dana mereka yang belum kunjung turun. Program ini membuat masyarakat kita menjadi

“manja” atau terkesan menjadi konsumtif, dengan asumsi yang secara tidak sadar timbul di kepala mereka

bahwa “tidak usah takut sakit, toh kita gratis berobat”. Akhirnya jumlah pasien di RS, Puskesmas,

membludak. Anggaran untuk pengobatan terus membengkak. Andai saja fokus perhatian lebih mengarah pada upaya

promotif dan preventif untuk menanamkan budaya sehat pada masyarakat mungkin APBD maupun APBN, negara ini

tidak akan terlalu terbebani.

Sekian banyak Pilkada yang telah dilalui di tahun 2007 lalu, kesehatan tak pula bisa lepas darinya. Isu-isu kesehatan

gratis digemborkan oleh para calon kepala daerah. Apakah ini petanda baik atau sebaliknya. Namun, bisa menjadi awal

malapetaka di negeri ini, jika penerapan sistem kesehatan gratis tersebut tidak tepat. Kenapa kita tak belajar dari kasus

Askeskin sebelumnya dengan klaim yang menunggak, jumlah pasien membengkak, kualitas pelayanan menurun, dsb.

Sekarang yang perlu dipikirkan adalah mekanisme dan sistem yang jelas. Selama ini pasien miskin sudah gratis

ditanggung pemerintah pusat melalui PT ASKES. Apakah Pemda juga harus ikut nimbrung menghambur-hamburkan

uang kepada pasien Askeskin yang tidak jelas kriterianya.

Dibandingkan dengan negara tetangga, Indonesia masih tertinggal dalam hal berbagai indikator utama terhadap

pencapaian di sektor kesehatan, seperti tingkat kematian bayi, kematian balita, dan kematian ibu. Ada tiga alasan utama

yang dapat menjelaskan hal ini: mutu layanan kesehatan dasar yang buruk, tingkat pemanfaatan layanan kesehatan

sekunder yang rendah oleh rakyat miskin, dan tingkat layanan pencegahan yang rendah.

Indikator kesehatan Indonesia yang masih mengecewakan dapat ditingkatkan dengan memperkuat layanan

pencegahan, intensifikasi program kesehatan, dan kampanye nasional untuk kesehatan, untuk menanggulangi penyakit

menular, terutama di daerah-daerah terpencil dan di wilayah-wilayah yang masih terbelakang.

Meskipun tingkat pengeluaran agregat kesehatan masih rendah, Indonesia masih dapat mencapai perbaikan yang

signifikan dengan tingkat pengeluaran yang ada sekarang, dengan catatan bahwa berbagai sumber daya yang ada

didistribusikan secara lebih merata bagi setiap kelompok masyarakat sesuai dengan tingkat penghasilan mereka.

Sumber daya ini juga harus dibagikan secara lebih merata ke seluruh kabupaten. Kebijakan pemerintah di sektor ini

belum tercermin dengan baik dalam alokasi anggaran mereka, di mana sebagian besar sumber daya digunakan untuk

memberikan layanan yang dimanfaatkan oleh penduduk yang tergolong kaya.

Oleh karena itu, sangat penting bagi pemerintah untuk melakukan alokasi yang lebih baik terhadap sumber daya yang

ada sebelum meningkatkan anggaran kesehatan secara substansial.

Aceh sebenarnya memiliki jumlah bidan yang memadai, namun jumlah dokter, apoteker, dan perawat masih belum

sebanding. Indonesia memiliki bidan yang cukup yang disebar dengan sangat baik ke seluruh negeri. Akan tetapi,

kebanyakan dari mereka melayani pasien dalam jumlah kecil dan memiliki peluang sangat kecil untuk meningkatkan

keterampilan mereka. Bagi praktisi kesehatan yang lain, tantangan itu malah sebaliknya. Misalnya, di Puskesmas masih

terjadi kekurangan tenaga dokter yang sangat serius, terutama di daerah-daerah terpencil. Tingkat ketidakhadiran

petugas kesehatan juga sangat tinggi.

Untuk menanggulangi kesenjangan dalam penyediaan layanan kesehatan, Dana Alokasi Khusus (DAK) dapat digunakan

untuk meningkatkan layanan kesehatan di wilayah-wilayah yang kurang mendapatkan pelayanan, dan intervensi

berdasarkan permintaan, seperti penerapan sistem kupon untuk meningkatkan permintaan layanan dari masyarakat

miskin.[]

Penulis adalah Penulis adalah pemerhati masalah Perencanaan Pembangunan Daerah. Berdomisili di Banda Aceh

BIDAN DENGAN PASIEN 2

Suatu misteri yang harus kita singkap, bila
memperhatikan perkembangan penanganan kehamilan di
Indonesia akhir-akhir ini. Isue yang mulai berkembang
di Indonesia tentang persalinan dengan bedah caesar
yang semakin banyak, sudah bukan sembarangan isue lagi
tapi ada suatu indikator yang dijadikan patokan oleh
masyarakat, sehingga merekapun sudah mulai curiga,
apakah ada sesuatu yang salah. Dari data-data pada
tahun 1975 di jaman bedah caesar sangat jarang
dilakukan, angka kematian ibu yang melahirkan sekitar
30 orang setiap 1000 orang ibu yang melahirkan.
Walaupun jumlah itu pun sudah turun drastis, yakni
menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) pada 1990
(21 April 1998, Surabaya Post), angka kematian ibu
sekitar 4,25. Lewat keseriusan pemerintah untuk menekan
angka kematian ibu terus diupayakan, sehingga pada 1996
pemerintah mencanangkan \"Gerakan Sayang Ibu\" (GSI) dan
mematok angka 2,25 sebagai target nasional untuk
menurunkan angka kematian ibu pada akhir 1999.

Tapi dibalik itu semua, ada suatu misteri di bidang
Obstetrian dan Gynecolog, bila dilihat kesibukan dokter-
dokter di bidang tersebut. Ada dokter-dokter yang
pasiennya (ditangani mulai dari masa kehamilan)
melahirkan tiap hari antara satu sampai tiga orang,
bedah caesar terhadap pasiennya yang dilakukan untuk
satu hari bisa sampai dua orang dengan frekuensi yang
tidak jarang juga. Maka bila dari 10 orang pasien, yang
menjalani bedah caesar 1-3 orang, berarti angka
persalinan dengan bedah caesar pasien-pasien yang masa
kehamilannya oleh dokter-dokter Obstetrian dan
Gynecolog Indonesia, banyak yang akan jatuh diantara
100-300 untuk setiap 1000 pasiennya. Dengan kemajuan
iptek kedokteran, maka jumlah antara angka kematian ibu
yang melahirkan dan angka bedah caesar ibu yang
melahirkan seharusnya lebih kecil dengan berjalanannya
waktu. Tapi ini justru yang terjadi dengan suatu
kecendrungan yang berbalik. Dibalik misteri ini mungkin
juga merupakan tragedi buat Bangsa Kita.

Profesi
Bidan di antara Dokter Spesialis dan Dukun Bayi

Oleh Eny Prihtiyani

Bagi kaum perempuan, keberadaan seorang bidan memiliki arti tersendiri. Mereka menjadi konsultan sekaligus sahabat bagi perempuan terutama menyangkut kesehatan reproduksi. Sayang, bagi perempuan-perempuan di daerah pelosok, jasa bidan masih sulit diakses akibat minimnya tenaga bidan yang tertarik terjun ke daerah pinggiran.

Berdasarkan data Ikatan Bidan Indonesia (IBI) wilayah DI Yogyakarta, dari 1.268 anggotanya, sebagian besar masih membuka praktik di wilayah perkotaan. Fenomena inilah yang mendorong IBI menerapkan program desa siaga mandiri bagi setiap bidan.

"Dengan program itu, setiap bidan wajib memiliki desa binaan sehingga mereka harus terjun ke desa-desa. Diharapkan, dengan pola seperti ini, penyebaran bidan bisa lebih merata. Untuk perayaan Hari Bidan Indonesia pada 24 Juni, kita juga mengambil tema tentang pemerataan bidan, yakni 'Bidan Menjangkau Perempuan di Mana Mereka Berada'," kata Ketua IBI DIY Darmawanti Burham.

Gunung Kidul dan Kulon Progo menjadi daerah utama yang masih kekurangan tenaga bidan. Tak heran jika di sebagian pelosok desanya masyarakat masih banyak menggunakan tenaga dukun bayi. Di Kulon Progo, misalnya, hampir 20 persen dari proses persalinan masih menggunakan tenaga dukun. Seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat, keberadaan dukun bayi akan terus berkurang.

Wilayah perkotaan menjadi pilihan strategis para bidan untuk membuka praktik karena dari sisi ekonomi jauh lebih menguntungkan meski mereka harus bersaing dengan para dokter spesialis kandungan. "Meski jasa dokter spesialis sudah banyak menjamur, kami memiliki segmen tersendiri, yakni kalangan menengah ke bawah," kata seorang bidan yang membuka praktik di daerah Kotagede.

Lebih jauh bidan tersebut menjelaskan, dengan segmen masyarakat menengah ke bawah, tarif yang ditawarkan juga lebih murah, biasanya di bawah angka Rp 40.000. "Kami tetap memilih daerah perkotaan meski banyak pesaingnya karena membuka praktik di daerah terpencil spekulasinya terlalu besar mengingat rendahnya daya beli masyarakat. Apalagi, sebagian besar masih percaya pada tenaga dukun," tuturnya.

Menurut Burham, bidan tidak bisa dibandingkan dengan dokter spesialis kandungan karena masing-masing memiliki fungsi berbeda. Bidan adalah profesi yang menangani persalinan normal, mulai dari awal hingga akhir. Namun begitu sudah ada komplikasi, maka itu sudah wewenang dokter dan harus dilimpahkan.

Ada tiga tugas pokok seorang bidan, yakni melayani kesehatan ibu, anak, dan reproduksi; melayani program keluarga berencana; dan memberikan penyuluhan bagi masyarakat. "Bidan masih menjadi pilihan karena waktu konsultasi yang disediakan jauh lebih lama daripada dokter spesialis. Kalau dokter biasanya hanya to the point pada masalah pokoknya," ujarnya.

Bagi kaum perempuan, menggunakan jasa bidan atau dokter spesialis ialah sebuah pilihan. Nining, misalnya, ibu rumah tangga yang tengah hamil enam bulan lebih memilih jasa dokter spesialis karena tidak yakin dengan pelayanan bidan. "Kemampuan bidan hanya terbatas. Kalau terjadi apa-apa ia tidak bisa berbuat banyak. Karenanya, saya lebih suka menggunakan jasa dokter," katanya.

Pendapat Nining memang tidak salah. Berdasarkan data IBI DIY, dari 775 bidan yang membuka praktik swasta, baru 170 bidan yang masuk kategori bidan delima atau bidan berkualitas. Untuk meningkatkan kualitas bidan, pemerintah akan menaikkan standar minimal pendidikan yang sebelumnya hanya diploma I menjadi diploma III.

Tidak hanya itu, IBI akan mengevaluasi penyelenggaraan pendidikan kebidanan di delapan institusi di Yogyakarta. "Peminat pendidikan kebidanan semakin melonjak karena prospek kerjanya lebih menjanjikan," kata Burham.

Tidak ada komentar: